Jumat, 25 November 2011

Battle Hymn of the Tiger Mother


Buku yang agak bersinggungan dengan tehnik parenting yang gw baca pertama kali adalah Totto chan. Gw baca udah agak lama, pas gw berstatus mahasiswi. Masih jauh dari pikiran mau merit dan punya anak waktu itu. Tapi gw setuju, isi buku Totto chan itu bagus. Anak yang di bebaskan belajar tanpa paksaan, kemungkinan menyerap lebih banyak dibanding yang belajar karena terpaksa. Dan tiap anak unik, dengan cara belajar yang masing-masing berbeda. Pas gw udah menyandang status sebagai orang tua, gw baru ngeh kalo pola belajar seperti yang dianut kepala sekolahnya si Totto chan mendekati dengan teori Montessori. Dimana anak bebas mau belajar apa aja lebih dulu, tanpa beban, tanpa tuntutan. 


Sedikit banyak gw sepakat dengan pola pengasuhan seperti itu, mungkin juga udah mulai gw terapkan ke anak-anak gw. Gw termasuk easy going mother kayaknya. Ga terlalu nuntut Allyssa dan Audra untuk menguasai ketrampilan tertentu. Mengalir ajalah, sesuai milestone mereka. 



Dan teori tersebut berlawanan dengan isi bukunya Amy Chua yang berjudul seperti dibawah ini.

 Sejak pertama denger tentang buku ini sekitar 6 bulanan yang lalu, gw udah kepengen baca. Tapi tiap mau beli online pasti lupa. Akhirnya, beberapa hari yang lalu pas main ke toko buku di kota kecil gw, ketemu buku ini yang edisi terjemahan. Yasut, langsung aja gw beli, dan gw baca malem, nyambung besok paginya. (Allyssa dan Audra agak dicuekin karena mamanya asyik baca buku :P)

Isinya, si Amy ga sepakat sama sekali dengan pola asuh anak ala western yang menurut dia terlalu memanjakan anak. Toh ujung-ujungnya anak malah jadi ga terarah dan ga hormat dengan orang tua. Berapa banyak coba orang tua western yang menetap di panti jompo karena anaknya ga mau direpotin? Karena itu dalam membesarkan anak2nya, si Amy mengambil jalan yang berbeda dengan kebanyakan orang tua western. Anak-anaknya harus lebih maju 2 tahun dibanding teman-teman sebaya mereka. Jadi yang terbaik itu wajib dalam setiap mata pelajaran sekolah. Pilihan ekstrakurikuler, orang tua donk yang pilih, anak tinggal menjalani dan harus jadi yang terbaik. Dan yang paling penting, harus selalu patuh dengan perintah orang tua dan tetap hormat sama mereka. Hasilnya, 2 orang putrinya selalu menempati posisi nomor 1 di sekolah, dan jadi pemain piano dan biola profesional yang diakui komunitas musik di sono. 

Waww, di tengah pola asuh ala Totto chan yang lagi banyak dianut para orangtua di negeri ini, caranya si Amy emang rada mengerikan dan rada ga masuk akal buat diterapkan. 

Gw ga akan bilang cara mendidik ala Amy Chua jelek, karena ya itu tadi, tiap orang tua punya pendekatan dan alasan sendiri dalam mendidik anak-anaknya. Mungkin bagi anak-anak dia, ya begitu yang paling baik. Dan walaupun dalam prakteknya rada keterlaluan, alasan dia buat mendidik anak-anaknya dengan cara demikian sebenernya masuk akal. Dia pengen mempersiapkan anak-anaknya biar “siap tempur menghadapi dunia” pas udah gede nanti. (Kayaknya tiap ortu juga misinya sama ya????) Dan overall, dia pengen tetap bisa berkomunikasi dan dihormati anak-anaknya pas dia udah uzur nanti.  Toh dia cukup berjiwa besar, in the end pada waktu anak bungsunya nolak semua aturan yang dia buat, dia tau kalo dia mesti mundur teratur dan mengalah. Walaupun tetep keukeuh ngotot kalo cara cina dia lebih baik dibanding cara western. :)

It’s a good book. Membuka mata tentang kemungkinan tehnik parenting lain yang ada (dan cukup sukses, setidaknya bagi si Amy Chua hehehe) selain tipe “western” yang bukunya banyak bertebaran disekitar kita. Gw ga mungkinlah menerapkan seluruh tehniknya dia, kayaknya ga gw banget deh hehehe. Tapi untuk beberapa hal, gw sepakat dengan Amy. 

Pada dasarnya semua anak lebih suka santai dan bermain. (makanya facebook dan game komputer laku). Ga ada yang bener-bener suka belajar. Karena itu, mereka perlu kegiatan yang “terarah”. Dan kebiasaan baik terus  perlu dilatih, dilatih dan terus dilatih. Because nothing is fun untill you’re good at it. 

Membebaskan anak tanpa arahan yang pasti juga ga baik. Anak tetap butuh arahan. Dan itu tugas kita sebagai orang tua. Tehnik pengarahannya? Terserah kita masing-masing. Mau pake tehniknya si Amy Cua, atau tehniknya kak Seto, atau tehniknya kepala sekolah si Totto chan, atau tehniknya si Maria Montessori, atau tehnik ortu jadul kita, atau bikin tehnik campur aduk sendiri silakan aja. Toh (mestinya) kita yang  lebih paham gimana kondisi anak-anak kita dibanding orang lain.