Senin lalu, setiba dirumah, gw mendapati allyssa lagi nonton tv dengan murung.
"Ma, mama jangan marah ya. aku dibatalin ikut lomba menggambarnya" kata allyssa
Gw kaget.
Seminggu sebelumnya gw diberitahu oleh gurunya kalo allyssa dan audra bersama dengan satu orang lagi teman mereka diikutkan lomba menggambar dan mewarnai mewakili sekolah mereka dalam rangka gebyar muharam yang diadakan suatu sekolah. Selama seminggu terakhir, tiap siang sepulang sekolah, mereka dapat pelajaran menggambar dan mewarnai tambahan selama 1 jam.
"Lho?! Kenapa bisa gitu? Memang gurunya bilang gimana?"
"Iya, ustazah bilang, aku sama de' audra udah kebanyakan les diluar sekolah. Jadi kasihan kalo ikut tambahan les lagi. Jadi aku sama dede' di batalin ikut lombanya. Ustazah bilang kalo aku mau ikut lomba boleh aja, tapi ikut sendiri, ga mewakili sekolah" jelas allyssa murung.
Gw langsung donk menuntut penjelasan ke eyangnya. Ternyata eyangnya juga ga diberitahu apa2 oleh gurunya. Tapi sepertinya keputusan tersebut diambil oleh guru2nya berdasarkan hasil lomba menggambar yang diadakan di internal sekolahnya dua hari yang lalu. Anak2 gw ga ada satupun yang berhasil menyabet piala menggambar. Kemampuan menggambar dan mewarnai mereka masih kalah sama teman2nya yang lain. Tentu saja guru2nya berubah pikiran dan memutuskan mengirim para juara 1 sd 3 buat mewakili sekolah.
Keputusan yang sangat logis. Tapi, kenapa juga ga dari awal mereka nunggu hasil lomba menggambar dan mewarnai baru mengumumkan siapa2 aja yang mewakili sekolah. Kenapa mesti melibatkan anak2 gw, memberi mereka harapan, menambah jam pelajaran dan trus mendadak dibatalin begitu saja lewat si anak dengan alasan yang keliatan banget dicari2.
Gw terus terang kecewa dengan sikap guru2nya. Menurut gw kok ga bijaksana sekali.
Dan yaaah, anak2 gw juga kecewa. Gw tanya ke allyssa dan audra mereka masih mau ikut atau enggak? Mereka berdua bilang masih tetap mau ikut lomba, maka gw daftarin mereka buat lomba.
Maka, dengan sisa waktu 4 hari sebelum lomba, gw yang ga punya bakat menggambar atau mewarnai (apalagi melukis) ini, bertekad untuk maksimal melatih anak2 gw menggambar dan mewarnai.
Never underestimate the power of emak2 yang sakit hati!
Dimulai dengan mengutus eyang nini buat mendaftarkan anak2 ke panitia lomba gambar. Dari sana kita jadi tahu tema lomba adalah"religi", yang maknanya bisa luas sekali. Trus kita diberitahu kriteria penilaian adalah ide, komposisi warna, komposisi bentuk dan kreatifitas.
Beres dari sana gw mulai berburu crayon buat di pake. Saran dari keponakan gw yang udah biasa ikut lomba mewarnai dan menang, "Pakai merk faber castle aja tante, warnanya bagus buat dicampur, dan ga keras". Oke ceci, tante ikut sarannya. Syukurlah, gw berhasil ketemu satu2nya faber castle 60 warna yang masih tersisa di toko buku di kota gw. Paling enggak bisa di pake allyssa. Gw nyari satu lagi buat audra. Dan seluruh toko buku besar dan atk di kota gw udah gw kelilingin, ternyata ga ada yg jual. Yasut de', terpaksa pake crayon Dong-A aja ya, warnanya juga lengkap kok.
Sisa waktu sepanjang perjalanan ke tempat kerja gw pake buat browsing dan belajar tentang gimana cara bikin warna gradasi, melototin gambar2 pemenang lomba gambar di internet, dan belajar tutorial menggambar di youtube. Dirumah, gw membongkar buku2 cerita anak2 dan mencari ilustrasi gambar yang menarik, buat bahan inspirasi mewarnai.
Pada saat lagi nyetir sendiri, pikiran gw sibuk menggali ide buat menterjemahkan tema religi diatas kertas. Yang terpikir disemua orang jika mendengar tema religi, pasti menggambar mesjid, atau aktivitas keagamaan seperti sholat, membaca quran. Awalnya, dalam usaha supaya bisa mendapatkan poin lebih di penilaian ide dan kreatifitas, gw mencoba melawan arus. Menolak membuat sketsa gambar yang terlalu mainstream seperti lambang2 religi diatas.
Gw berdiskusi dengan allyssa, gimana kalo sketsa gambarnya nanti seorang anak berkerudung yang lagi menyelam di dasar laut sambil mengagumi ciptaan Tuhan. Allyssa setuju, karena dia bakal bisa menggambar mutiara yang cantik, yang udah direncanainnya bakal diwarnai pake crayon pink. Tapi eyang2nya pada geleng2 kepala. "Kurang keliatan makna religi nya" komentar mereka.
Gw banting setir dan berusaha mengambil cerita2 nabi buat dijadiin sketsa. Gw ngusulin ke allyssa buat ngegambar nabi Musa AS yang lagi membelah laut merah dengan tongkatnya. Setelah di coba digambar, ternyata kita kesulitan ngewarnai lautnya. Opsi sketsa cerita nabi Musa pun batal.
Akhirnya gw nyerah dan mengikuti pakem standar. Bareng allyssa gw ngerancang sketsa anak dan ibu lagi membaca al quran dengan latar belakang mesjid di malam hari yang bertabur bintang. Buat audra, kita bikin sketsa standar, dua orang anak berkerudung sedang pergi mengaji ke mesjid.
Karena waktu gw cuma sedikit, gw berusaha keras supaya dalam kurun waktu 4 hari tersebut gw bisa pulang ke rumah dengan cepat. Gw menunda sejumlah operasi dan memperpendek waktu praktek, supaya gw bisa turun tangan langsung dan melatih mereka menggambar dan mencampur warna.
Sesi belajar gw dengan anak2 ga bisa dibilang lancar. Diwarnai perselisihan, wajah cemberut dan airmata. Sebagai guru, gw adalah guru yang sangat berdedikasi dan tegas alias galak di mata anak2 gw. Gw ga segan2 memarahi mereka kalo ga serius mewarnai. Gw menetapkan standar yang tinggi ke mereka.
Allyssa dan audra mulai misuh2 kalo gw udah memanggil mereka buat mewarnai. Sehari sebelum lomba, Audra bahkan berkata begini ke gw, "Ma, kalo lombanya udah selesai, kita jangan ngewarnain lagi ya".
Gw rada tercekat ngedenger komentar audra. Apa gw sedemikian galaknya sampe mereka jadi ga menikmati latihan dan membenci kegiatan menggambar dan mewarnai ya? Sorry dear kids, tapi kalo kita udah memutuskan buat ikut lomba, kita harus berusaha semaksimal yang kita bisa donk.
Hari perlombaan tiba. Gw harus kerja sehingga ga bisa nganter mereka. Gw baru tiba di tempat lomba setelah separo waktu lomba berjalan.
Dan, pemandangan di tempat lomba lukis anak2 bikin hati gw mencelos. Ada anak yang mengeluarkan kuas besar buat menyapu permukaan gambarnya. Hampir tiap anak membawa dua alat lukis yang berbeda. Satu crayon, satu lagi semacam pensil warna. Malah ada yang bawa 2 set crayon dan 2 set pensil warna. Belum lagi alat kerik berbagai motif dan pilox aneka warna. Sementara anak2 gw cuma dibekali satu macam crayon dan pilox snowman putih buat bikin bintang2.
Gw duduk dipinggir supaya bisa ngeliat anak2. Daaan, jelas sekali terlihat, betapa tidak konsentrasinya anak2 gw. Allyssa dan audra berulang kali melihat ke sekitar, bengong dan lupa buat mewarnai. Beberapa kali mereka berdua memandang gw dengan pandangan memelas dan bibir mereka mengeluarkan kata cape'. Sementara, para peserta lain di sekitar mereka dengan tekun dan asyiknya melanjutkan pekerjaan mereka dengan penuh konsentrasi.
Siapapun bisa menilai, anak2 gw sama sekali tidak menikmati aktivitas menggambar dan mewarnai ini.
Gw melihat ke arah 3 orang teman2 allyssa yang dikirim mewakili sekolah. Semuanya mewarnai dengan tekun, hasil gambar mereka rapi dan bagus. Guru2 sekolah allyssa dan audra mendekati ketiga anak tersebut dan memotret gambar mereka satu per satu. Gambar anak2 gw ga di foto sama sekali. Gw seolah dipaksa menelan pil pahit. Mereka memang jauh lebih unggul dibanding anak2 gw dalam bidang mewarnai. Mereka memang pantas dikirim mewakili sekolah.
Gw memandang ke anak2 gw. Trofi juara jelas ga bakal diraih oleh satupun dari mereka. Gw cuma berharap, audra ga bakal ngambek di tengah jalan karena kecapen dan bisa mewarnai gambarnya sampai selesai. Ga rapi juga gpp, yang penting bisa diwarnai semua. Allyssa cuma gw harapkan bisa mewarnai serapi yang dia bisa.
Kelar lomba, gw ga bisa menahan kekecewaan gw. Buat audra, yaaah gw memang ga berharap apa2. Tapi di allyssa, gw meletakkan banyak harapan. Pembuktian ke guru2nya bahwa dia bisa menggambar dan mewarnai. Dengan sedih gw mengungkapkan kekecewaan gw ke allyssa. Kalo mau, sebenernya dia bisa merapikan gambarnya jadi lebih baik. Allyssa yang sepertinya ngerti kalo gw kecewa berat, ikut nangis.
Malam harinya gw merenung. Dari awal gw sudah sangat tahu, anak2 gw suka menggambar, tapi mereka sama sekali ga suka mewarnai. Pada waktu awal diberitahu mereka bakal diikutkan lomba menggambar dan mewarnai pun gw sudah rada heran. Karena gw tahu betapa sukanya mereka menggambar dan betapa tidak suka nya mereka dengan aktifitas mewarnai. Kenapa gw mesti ngotot anak2 gw harus bisa mewarnai. Kenapa gw ga bisa membuka mata dan melihat bahwa ada anak2 lain yang memang menyukai aktifitas mewarnai dan bisa mewarnai lebih baik dari mereka.
Kenapa gw ga berkonsentrasi dengan kelebihan2 mereka yang lain?
Allyssa dan audra bisa menggambar dan membuat komik singkat lewat gambar2 yang mereka buat tanpa beban. Allyssa dan audra bisa membuat karangan yang bagus tentang pengalaman sehari2 mereka di buku harian. Allyssa bisa membaca not balok dan memainkan lagu my bonnie menggunakan kesepuluh jarinya diatas piano. Sementara Audra memainkan lagu bingo dengan lancar sesuai ketukan irama. Allyssa bisa membaca surat al bayyinah dengan fasih saat menjadi imam sholat maghrib bagi adiknya. Dan audra berhasil menghafal surat al maun dalam satu malam dengan caranya sendiri.
Allyssa dan audra yang selalu mencium tangan gw sebelum pergi sekolah. Allyssa dan audra yang selalu mengantar gw pergi kerja di sore hari sambil berpesan supaya gw cepat pulang. Apalagi yang gw harapkan? They're perfect in their own way.
Minggu lalu allyssa pulang dengan membawa piala juara kedua lomba puisi di sekolahnya. Audra pun ga mau kalah, pulang dengan membawa dua piala, juara dua lomba hafalan quran dan juara kedua lomba puisi. Gw cuma memuji mereka seadanya, dan mulai berkonsentasi untuk persiapan menaklukkan lomba mewarnai. Aktifitas yang (dari dulu juga gw tahu) tidak terlalu disukai anak2 gw.
Alangkah egoisnya gw.
Betapa tidak pandai bersyukurnya gw.
Kedua putri gw sudah memberikan yang terbaik yang mereka bisa. Sementara gw cuma menjadi ibu yang terus menerus menuntut mereka jadi yang terbaik di segala bidang. Lebih parah lagi, dalam kondisi sekarang, gw habis2an mempersiapkan mereka buat ikut lomba menggambar dan mewarnai karena dorongan sakit hati ke guru2 mereka.
Alasan ikut lomba yang bener2 menyedihkan.
Kedua putri gw pasti ngerasa tertekan selama seminggu terakhir ini.
Maafin mama ya nak.
Tiba2, saat gw lg menyesali diri sambil memandangi anak2 gw yang tidur siang. Hp gw berbunyi. Masuk sms dari salah satu guru allyssa.
"Alhamdulillah, selamat buat allyssa, juara 2 lomba menggambar dan mewarnai. Terimakasih sudah mewakili sekolah. Terima kasih bunda sudah banyak mendukung. Selamat ya."
Dan gw langsung nangis.
Bukan, bukan karena gw senang anak gw dapet piala. Bukan juga karena rasa puas sudah berhasil mengalahkan anak2 satu sekolah dan berhasil membuktikan ke guru2nya bahwa anak gw ga bisa dipandang sebelah mata. Melihat teman2 satu sekolah allyssa yang dikirim, gw sangat maklum kenapa keikutsertaan anak2 gw dibatalkan. Sebagai guru, gw mungkin akan melakukan tindakan yang sama. Cuma cara membatalkannya aja yg gw kurang berkenan.
Gw nangis karena rasa bersalah gw ke anak2 gw semakin berlipat ganda. Mereka sudah berusaha semampu yang mereka bisa. Para juri pun mampu melihat usaha putri kecil gw dan mengganjarnya dengan piala kemenangan. Tapi gw selaku ibunya, orang yang paling dekat dengan mereka, terus menerus tidak puas dan menuntut. Gw bahkan memperlihatkan kekecewaan gw dengan jelas seusai lomba kemarin ke allyssa.
Jadi, sewaktu allyssa bangun, gw tunjukin sms dari gurunya. Dan gw memeluknya sambil menangis, meminta maaf atas keegoisan gw yang terus menerus terulang.
Allyssa cuma tersenyum ringan, "Ga apa2 kok ma. Aku tahu mama cuma pengen gambarku lebih rapi lagi kan, supaya hasilnya bagus".
Ga kok chayank, mama ga pengen apa2 lagi sekarang. Both of you are perfect.
Thank you dear God, for trusting me with these amazing girls.