Dengan semangat, gw menunggu2 kegiatan manasik. Hari H tiba, berangkatlah gw menuju tempat. Di sana sudah berkumpul 160an rekan2 yang bakal berangkat bareng gw. Dan terjadilah percakapan sebagai berikut.
Ibu 1 : "Sareng saha neng berangkat na?"
Gw : " Nyalira bu. Ibu sareng saha?"
Ibu 1 :" Abdi mah sareng caroge. Teu acan nikah nya' neng?"
Gw : (sambil tersenyum malu2) "Abdi tos gaduh putri dua bu"
Ibu 1 : "Ooooohhhh... Kunaon caroge nah teu ngiring?"
Gw : (kali ini sambil tesenyum miris) "Kebetulan baru saya yang di panggil ke tanah suci bu."
Si ibu manggut2 dengan raut wajah heran. Tapi cukup sopan untuk ga bertanya lebih lanjut.
Saat istirahat sholat dzuhur. Kembali gw ngobrol dengan ibu d sebelah gw. Dan kembali terjadi percakapan sebagai berikut.
Ibu 2 : "Neng sareng saha berangkat na?"
Gw : "Nyalira bu. Ibu sareng saha?"
Ibu 2 : "Ieu, sareng putri abdi. Berangkat berdua wae." (sambil memperkenalkan putrinya yang usianya lebih tua dari gw) " Kunaon caroge na teu ngikut?"
Gw : (Kembali pasang senyum manis) " Kebetulan baru saya yang d panggil"
Ibu 2 : "Teu na naon kitu caroge na di tinggal?"
Gw : (Tetap senyum manis) "Kebetulan baru saya yang d mampukan pergi"
Si ibu dan putrinya manggut2 mendengar jawaban gw. Entah apa yang ada d benak mereka.
Dan kembali, setelah makan siang, terjadi lagi percakapan yang sama, dengan orang yang berbeda.
Ibu 3 : "Sareng saha bu berangkat na?"
Gw : "Nyalira bu. Ibu sareng saha?
Ibu 3 : " Berempat. Sareng anak mantu. Eta putri abdi nu alit"
(Nunjukin k arah putri terkecilnya yang usia belasan tahun dan sibuk main BB)
"Kunaon nyalira? Teu sareng caroge?"
Gw : (senyum sopan) " Kebetulan baru saya yang di panggil"
Ibu 3 : (Manggut2, trus nyolekin ibu yang duduk di sebelahnya) "Ini nih, ibu ieu nyalira berangkat na" (Sambil nunjuk k arah gw)
Ibu 4: " Kunaon bu caroge na teu d candak? Teu marah kitu ditinggal?"
Gw : (Senyum pasrah, mengulang jawaban yang sama) "Kebetulan, baru saya sendiri yang d mampukan"
*sighhh... :-(
Gw sadar, para ibu tersebut ga punya maksud apa2. Pertanyaan yang terlontar murni sebagai ungkapan heran doank. Dan bukankah memang begitulah tipikal orang indonesia. Ranah pribadi merupakan pertanyaan yang paling dulu mereka ajukan.
Namanya siapa?
Udah merit atau belum?
Agama nya apa?
Kerjanya d mana?
Dan tetep....gw yang labil ini jadi patah semangat. Berada di antara manusia2 yang bersemangat untuk pergi ke tempat paling romantis di muka bumi, sambil saling bergandengan tangan dengan orang yang mereka kasihi, sementara gw cm sendiri, ternyata bukan hal yang mudah.